Pagi ini sekitar pukul sembilan, keributan terjadi di ruang makan. Di saat anak-anakku berada di sekolah, hanya ada si bungsu dan suamiku yang baru pulang dinas. Hanya berjarak dua hasta dari pagar rumahku, beberapa ibu-ibu sedang memilih dagangan abang sayur yang tiap pagi masuk ke gang kami.
Dia menendang panci yang berada tak jauh dari pintu ruang makan, ke arah dinding dapur yang menurun tiga anak tangga. Sreeeng... plaak.. Bergegas aku turun menuju dapur. "Begitu kuat tendangannya menghantam tubuh lemah ini, kupastikan tulang rusuk sejatiku lepas dari ikatan ruas tulang belakang dan tulang dadaku. Tubuhku menubruk dinding beton kemudian jatuh dari ketinggian dua meter, menggelinding dan akhirnya berhenti di bibir sumur". Mungkin itu keluhan yang aku dengar saat menghampiri panci yang tergeletak di bagian bawah dapurku. Ringkikan panci tadi, menyela candaan ibu-ibu yang sedang menawar sayur. Alangkah tidak beruntungnya aku,
Seiris daging didadaku menggeram"grrr malunya". Belum lepas lelah menyiapkan anak-anak berangkat sekolah, langsung disusul lalapan amarah suami yang tersulut. Sudah dua hari ini, aku memasak nasi yang diberi air santan menggunakan kelapa yang tumbuh di belakang rumah. Semangkuk bening bayam bersanding tahu, berpadu dengan sambal ikan teri. Hanya itu yang tersedia di atas meja.
Dengan suara keras suamiku berteriak "tidak pernah enak makanan dirumah ini!!!"
"Kau kemanakan uang gajinya?".
Ku atur tekanan suara yang keluar dari mulutku "hanya itu yang bisa kusajikan kak"
"Kau memang istri yang tidak beres...tidak bisa membuat suami betah di rumah" hardiknya memotong jawaban dariku.
Apa yang bisa ku lakukan, kecuali berhemat. Sisa gaji tinggal 90.250 rupiah, yang harus ku atur untuk keperluan sebulan.
Kata-kata makian yang keluar tak ku dengar lagi. Aku hanya tertunduk menekuni diriku di tangga dapur, sementara suamiku duduk di kursi makan.
Bak api disiram bensin,
aku menaiki tangga dapur. Entah bisikan apa yang mengalir masuk ke liang telingaku, memberi tumbukkan energi. Secepat gelombang cahaya, kubaluri wajahnya dengan sambal teri yang berada di meja makan.
Dia berdiri layaknya orang mabuk, menabrak dinding, tangan menggapai-gapai sembari berteriak keras "istri gila..gila..ambilkan air!!!".
"awas kau nanti"
Tak kuindahkan lagi apa yang terjadi, langsung kugendong anak bungsuku yang berlari menangis memeluk pahaku. Aku menangis berjalan cepat keluar melewati pintu depan menuju halaman samping rumahku. Entah berapa banyak mata dan telinga mengintip pertengkaran ini.
Tak lama kulihat, suamiku dengan mata memerah dan air yang masih menetes dari rambutnya, memacu astrea hitam melewati ibu-ibu yang berbisik-bisik di depan rumahku.
Segera aku masuk ke rumah, menghempaskan diri di kursi tamu, menyeka air mataku dan berusaha menenangkan anakku. Meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar