“Assalamualaykum, sudah sampai di mana mas?” tanyaku.
“Sekitar satu jam lagi, mas sampai. Sudah ngak sabar ya?” jawabnya, dengan nada menggodaku di ujung telepon.
“Jangan geer mas” sahutku dengan nada meledek.
“Ya sudah, hati-hati di jalan ya mas, kami menunggu di rumah. Assalamualaykum” jawabku mengakhiri telepon.
“Iya, waalaykumussalam” jawabnya.
Aku sudah tidak sabar menanti kepulangan suami tercinta. Setelah tepisah selama sepuluh hari, suamiku mengikuti diklat ke luar kota. Selama kepergian suamiku, aku ditemani ibu mertuaku. Suamiku sudah sangat hapal dengan sifatku yang penakut. Walaupun kami tinggal di komplek perumahan yang telah ramai penduduknya, namun aku masih merasa takut menjelang malam harinya. banyak suara yang terdengar, mulai dari suara jangkrik, suara seng yang membuat bulu kudukku merinding, hingga ketakutanku jikalau ada maling yang masuk ke rumah. Hal ini menyebabkan aku gelisah dan tidak bisa tidur. Jika dia harus ke luar kota dalam jangka waktu yang agak lama, pasti dia meminta ibunya untuk menemaniku.
Teeet...teeet...teeet suara klakson mobil di depan rumahku. Aku bergegas keluar, tersenyum pada sosok yang duduk di belakang setir, sembari membukakan pintu pagar. Aku menunggu di teras, mertuaku pun berdiri tidak jauh dariku. Kami menunggu mobil masuk hingga ke garasi.
“Assalamualaykum” ucap suamiku yang tersenyum ke arahku, sambil menyodorkan tangan kanannya.
“Waalaykumussalam” sahutku hampir bersamaan dengan ibu mertuaku. Aku menyambut dan mencium tangannya.
“Apa kabar sayang? Tanyanya penuh kehangatan sambil mengusap kepalaku.
“Alhamdulillah sehat mas” jawabku manja.
“Bagaimana keadaan ibu?” ucapnya sambil meraih tangan ibunya dan menciumnya.
“Sehat nak” jawab ibu mertuaku.
“Adik mana yang?” tanyanya sambil mencari sosok yang dia maksud.
“Biasa mas, adik sedang main futsal di lapangan ujung” jawabku.
Dia hanya menatapku dengan tersenyum.
Sembari masuk ke rumah, suamiku memberikan kunci mobil kepadaku. Pertanda aku harus mengeluarkan barang-barang bawaannya. Bersegera aku menuju mobil, mengeluarkan koper, sepatu, tas ransel dan beberapa oleh-oleh.
“Mas mau mandi dulu atau makan?” tanyaku sambil menengok ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.40 wib.
“Makannya nanti saja, mas mau mandi dulu” jawabnya seraya menuju kamar.
Kuikuti langkahnya dari belakang, menyiapkan handuk.
Sementara suamiku mandi, aku sibuk memisahkan pakaian kotor yang ada di kopernya. Ibu mertuaku juga tampak sibuk membuka oleh-oleh berupa makanan khas bumi Sriwijaya itu.
“Biar saya saja yang menggorengnya bu” ucapku, sambil menyiapkan wajan. Makanan khas yang terbuat dari campuran ikan dan sagu ini dinamakan pempek. Usai menggoreng, aku hidangkan di meja. Sambil menonton berita di televisi, aku menikmati pempek bersama ibu mertuaku di ruang keluarga. Tidak lama kemudian, suamiku selesai mandi. Dia menuju ruang keluarga.
“Enak pempeknya? Tanyanya sembari mengambil dua buak pempek dan duduk di sampingku.
“Enak mas, ikannya terasa sekali” sahutku, sambil sesekali menghirup kuahnya.
“Bagaimana diklatnya mas? Seru nggak?” tanyaku.
“Ya serulah, banyak ilmu baru, banyak juga teman baru” sahutnya.
“Kamu mampir nggak ke rumah bibimu? Bagaimana keadaannya” Tanya mertuaku.
“Mampir bu, Alhamdulillah bibi dan suaminya sehat” jawabnya sambil menoleh ke arah ibunya. Namun saya tidak bisa lama main ke sana. Karena jadwal diklatnya padat.
“Bibi titip salam untuk bapak dan ibu, katanya insyaallah lebaran nanti, beliau pulang mudik” lanjutnya.
“Tidak apa-apa. Bibimu juga pasti maklum, kalau kedatanganmu ke sana dalam rangka diklat. Dia juga pasti merasa senang sekali, karena kamu sempatkan berkunjung ke rumahnya”
Panggilan adzan shalat ashar, mengakhiri obrolan kami sore itu. Kami bersegera menunaikan shalat ashar berjamaah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar